Pernikahan Yang Mengharukan

Lanjutan dari Cerpen Ketika Merpati Hinggap di Atap Masjidil Haram“. 

Alhamdulillah, seluruh persiapan pernikahanku berjalan lancar. Kulihat Mama sangat bahagia. Wajahnya berseri-seri menyambut setiap tamu yang datang. Sejak Papa meninggal, tak pernah aku melihat Mama sebahagia hari ini.

Bang Indra dan Kak Vera, istrinya, tampil sangat serasi. Mereka bagai pinang dibelah dua. Sering sekali aku menggoda Bang Indra, “Beruntung Lo Bang, dapat istri secantik Kak Vera.” Bang Indra biasanya cuma senyum. Abangku yang satu ini – dan memang cuma satu ini :) — selalu tampil cool. Wajar saja jika sejak mahasiswa dulu banyak teman wanitanya yang telepon aku; sekadar ingin dekat dengan calon adik iparnya. :). Sejujurnya bukan karena aku adiknya lalu menyanjung Bang Indra, tapi dia memang punya kepribadian yang bikin banyak wanita merasa nyaman di sampingnya. Kebahagiaan mereka semakin sempurna dengan kehadiran Putri, keponakanku yang selalu bikin jengkel, tapi menggemaskan setengah mati. Benar deh, sama adik aku bisa marah, tapi sama keponakan, aku tak berdaya. he…

Adikku Airin juga terlihat sibuk dengan teman-temannya. Meski bungsu, Airin tak pernah manja, ia memilih kuliah di Bogor. Katanya, “biar belajar mandiri, kak”. Aku mencintai Airin bahkan melebihi kecintaanku pada diriku sendiri. She is my everything. (kayak iklan saja). Sejak papa meninggal, Airin menjadi pusat perhatianku. Maklum, saat itu dia baru kelas dua SMP. Aku takut dia mengalami trauma dan rasa kehilangan yang mendalam. Tapi, ternyata, dia sangat tegar, bahkan kadang lebih tegar dari aku. Jika suatu kali kami bercerita tentang papa, ujung-ujung aku yang menangis duluan.

Aku dan calon suamiku duduk bersimpuh di karpet merah yang digelar di ruang tamu. Kami memang tidak menikah di masjid. Alasannya: resepsi pernikahan kami sangat sederhana. Kami menggelarnya di rumah. Kata Mama sih, selain menghemat biaya, juga karena tamu yang diundang banyak. Jika di gedung, seringkali tamu telat datang, apalagi di musim hujan seperti saat ini. Di mana-mana pasti macet. Kasihan kan, datang dari jauh lalu acaranya sudah selesai. Kebayang tuh, kalau kita datang kondangan, pengantinnya sudah rapi-rapi. :)

Teman-teman alumni umrah pun kami undang. Pak Arief, Bu Wiwin dan Linda datang sejak pagi. Saat aku mengantar undangan ke Bu Wiwin, beliau antusias sekali.
Alhamdulillah, Nis, akhirnya….” teriaknya sambil memelukku.
“Ya bu, jodoh Allah yang tentukan.” Kataku berkaca-kaca.

Perjalanan umrah yang hanya dua belas hari telah merubah jalan hidupku. Allah memberiku dua pilihan yang sama-sama baik: Nael dan Mas Idil. Setelah istikharah, Allah menunjuki aku satu pilihan. Dan, pada akhirnya, ketentuan Allah adalah yang terbaik. Dia Maha menentukan semua jalan hidup kita.

Teman-teman dari travel agent juga sangat sibuk, bahkan seolah event-organizer acara pernikahanku. Mereka telah sangat berpengalaman mengatur suatu acara. Dan, tak lupa kami mengundang ustadz Faishol untuk menyampaikan taushiyah pernikahan.

Aku semakin gemetar saat sebentar lagi ijab–kabul. Bang Indra akan bertindak sebagai wali menggantikan almarhum Papa. Ya, Allah – aku ingat Papa sekarang. Andai beliau masih ada di antara kami, tentu beliau sangat sibuk. Sepanjang hidupnya, beliau adalah seorang yang perfeksionis dalam menyiapkan segala sesuatu. Maklum, dosen teladan di Universitas Indonesia, tempat beliau dulu mengabdi. Jangankan acara besar seperti pernikahan ini, sewaktu aqiqahan Putri saja, beliau cek sampai ke detail-detailnya. Ada saja yang beliau tanyakan untuk memastikan kesiapan semua-nya. Peniti, gunting, mikrofon, kipas angin, semua di-cek. Ketika aku tanyakan untuk apa peniti, beliau bilang, “nanti sapu tangannya digantungkan di baju Putri biar saat rambutnya digunting ada alat penyekanya.” Ampun deh Papa.
Tiba-tiba air mataku mengalir.

–*** —

Satu per satu mata acara dibacakan oleh Mas Abdullah, pembawa acara yang juga keponakan Mama. Kini giliran ustadz Faishol menyampaikan taushiyahnya. Keren lho taushiyahnya. Aku transkripkan yah.

Setelah hamdallah dan shalawat,
Saudaraku, hari ini kita berbahagia menyaksikan sepasang anak manusia dipertemukan Allah dalam ikatan pernikahan. Suatu pernikahan yang dilandasi iman dan cinta.

Cinta laksana air dalam kehidupan, nafas dalam jiwa, semangat dalam raga, lembut dalam sutera. Ia bagaikan panas pada api, dingin pada salju, luas pada angkasa dan, seperti kata Sapardi, “kayu kepada api yang menjadikannya abu”

Disebabkan oleh cinta, Rasulullah selalu mengingat-ingat almarhumah Khadijah(RA), istri pertamanya, hingga Aisyah (RA), istri ketiganya, cemburu “Aku sangat cemburu dengan Khadijah karena sering disebut Rasulullah, sampai-sampai aku berkata: Wahai Rasulullah, apa yang kau perbuat dengan wanita tua yang pipinya kemerah-merahan itu, sementara Allah telah menggantikannya dengan wanita yang lebih baik?”

Rasulullah menjawab, “Demi Allah, tak seorang wanita pun lebih baik darinya. Ia beriman saat semua orang kufur, ia membenarkanku saat manusia mendustaiku, ia melindungiku saat manusia kejam menganiayaku, Allah menganugerahkan anak kepadaku darinya.”

Disebabkan oleh cinta, Adam memakan buah keabadian (syajarah khuldi), karena – konon – Sayyidah Hawwa memintanya melakukan itu. Adam yang hidup di surga dengan kenikmatan yang tiada tara, tetap berharap dengan keabadian cinta. Ah, ada saja.

Dalam khutbah yang singkat ini, saya ingin membahas tentang cinta yang sebenarnya. Cinta yang telah mengantarkan janin pada kedewasaan, air pada pusaran gelombang dan jalinan rindu pada bait-bait syair kehidupan.

Cinta, sebuah kata yang hanya terdiri dari lima huruf. Tetapi, kandungannya telah mengubah sejarah peradaban manusia. Syeikh ‘Aidh al-Qorni mengatakan kita harus memilah cinta pada dua takaran: cinta ilahiyah dan cinta duniawiyah. Cinta ilahiyah adalah cinta yang abadi. Cinta seorang hamba pada Allah untuk mengikuti seluruh aturan hidup yang diberikan lewat nabi-Nya, Muhammad SAW. Bagaimana mungkin manusia tak mencintai Tuhannya, sementara seluruh kenikmatan ini adalah pemberian-Nya: Ketentuan Allah adalah adil, syariat-Nya rahmat, ciptaan-Nya menawan, fadhilah-Nya luas melebihi keluasan samudera.

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (Al-Kahfi: 109)

Cinta ilahiyah adalah apa yang ditunjukkan Bilal bin Rabah, ketika ia berkata, “Ahad… ahad… ahad” di tengah himpitan batu panas yang menindihnya.

Adalah Umair bin Himam yang berlari menyambut seruan perang padahal sedang asyik menikmati makanan, seraya berkata, “aku tak mau biji kurma ini menghalangiku masuk surga.”

Adalah Handzalah bin Abu Amir, yang melepaskan pelukan istrinya di malam pengantin baru, seraya menyambut seruan jihad pada perang Uhud dan menemui syahidnya. Ia dimandikan para malaikat hingga membuat sahabat nabi yang lain bertanya-tanya. “Mengapa dimandikan malaikat?” “Cari tahulah pada keluarganya” kata Rasulullah yang mulia. Ya, ia tak sempat mandi jinabah saat menyambut panggilan Tuhannya. Itulah sekelumit contoh cinta Ilahiyah. Cinta yang meminta pengorbanan harta dan jiwa

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (As-Shaff: 10-11).

Untuk itulah, seorang penyair Arab menulis:

الحب للرحمن جل جـلاله ***وهو مستحق الحب والأشواق
فأصرفه للملك الجليل ولذبه  ***من كل ماتخشاه من إرهاق

Cinta sesungguhnya adalah hanya kepada yang Maha Mencinta
Dialah yang paling berhak untuk dicinta dan dirindu
Maka, palingkanlah cintamu dari raja yang berkuasa
Dan dari setiap yang engkau takut dari makhluk-Nya.

Selain cinta ilahiyah, manusia yang hidup di alam duniawi yang profan ini seharusnya merasakan juga cinta duniawi. Ia adalah fitrah pada manusia. Yaitu mencinta harta, anak dan istri (atau suami) sebagai belahan jiwa. Tentu semua itu tak boleh melebihi kecintaan seseorang pada Allah SWT. Untuk itulah, Allah SWT mengingatkan,

      
      قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad dijalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA” dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (At-Taubah: 24).

Disebabkan oleh cinta manusia meminum arak rindu yang memabukkan itu. Penyair Arab mengatakan:

ولاتسألني عن وطني فقد اقمته بين يديك
ولاتسألنى عن اسمي فقد نسيته عندما احببتك

Jangan kau tanyakan dari mana asalku, sebab telah ku bentangkan di hadapanmu.
Jangan pula kau tanyakan siapa namaku, sebab aku telah lupa sejak mencintaimu.

Sebagai agama fitrah, Islam memberi ruang pada cinta duniawi ini. Ketika sepasang anak manusia tertarik satu dengan lainnya, Islam menganjurkan untuk segera mendokumentasikannya dalam mahligai rumahtangga. Rasulullah SAW berpesan, “Wahai anak muda, barangsiapa di antara kalian sudah mampu (menikah), hendaklah menikah.” Ikat cintamu. Abadikan pelana hatimu. Simpan permata jiwamu. Proklamasikan belahan kasihmu di altar sajadah ijab-kabul yang disaksikan para malaikat, sambil bersimpuh di hadapan orang tua dan kerabat.

Cintailah pasanganmu seperlunya. Sebab, telaga cinta manusia pasti akan kering suatu saat kelak. Ia tak mungkin abadi, bahkan jika kau dokumentasikan cintamu semewah Taj Mahal sekalipun. 

Pernikahan telah menyingkap tabir rahasia pasanganmu. Bagi suami, ternyata istri yang engkau nikahi tidaklah semulia Khadijah yang rela berkorban seluruh hartanya untuk dakwah suaminya. Tidak pula setaqwa Aisyah yang menutup malam dengan tahajud dan siang dengan infak dan sedekah. Tidak pula setabah Fatimah ketika Ali bin Abi Thalib, suaminya, membagikan persediaan makanannya untuk fakir, miskin, janda dan tawanan perang hingga Allah turunkan ayat sebagai pengabadian cinta mereka, “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS Al-Insan 9)

Disebabkan oleh cinta, sadarlah engkau bahwa istrimu hanyalah wanita pada umumnya. Ia yang punya cita-cita dunia, ingin rumah, kendaraan, perhiasan dan berbagai gadget terbaru untuknya. Pernikahan telah mengajarkanmu kewajiban bersama. Istri menjadi tanah, engkau langit yang menaunginya. Istri ladang tanaman, engkau pemagarnya. Kala ia tengah teracuni, engkau harus menjadi penawar bisanya.

Maka, ketika cinta telah terpatri di buku nikah, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mendoakan sepasang kekasih itu, “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, keberkahan ke atasmu dan mempersatukan keberduaanmu dalam kebaikan. Satu dalam dua adalah ibadah; bercumbu ibadah, mencari rezeki ibadah, tersenyum ibadah, bahkan saling meremas jemari pun ibadah. “Meremas jari-jemari istri menggugurkan dosa-dosa kecilmu!”

Malam pengantin baru adalah malam yang ditunggu-tunggu. Sebagian menantikannya dengan dada berdebar, sebagian lain dengan mabuk kepayang. Rasulullah berpesan, “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita. Kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah, dan menjadi halal dengannya karena nama Allah.”

Disebabkan oleh cinta, Rasulullah SAW menganjurkan kepada pengantin baru hal-hal  berikut ini:
  1. Shalatlah dua rakaat.
  2. Ambil gelas, tuangkan susu dan madu, teguk dan rengkuh isinya bersama.
  3. Letakkan niat dengan benar sebab setiap amal seorang muslim dihitung berdasarkan niatnya. Dalam satu hadits diriwayatkan dari Abu Dzar bahwasanya orang-rang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala, di mana mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka menyedekahkan kelebihan harta mereka”. Rasulullah SAW bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik adalah sedekah, mencegah dari perbuatan munkar adalah sedekah, bahkan di dalam salah seorang di antara kamu sekalian itu bersetubuh dengan istrinya juga termasuk sedekah”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah seseorang itu melampiaskan nafsunya juga mendatangkan pahala?” Beliau menjawab: “Bagaimana pendapatmu seandainya ia melampiaskan nafsunya pada yang haram, bukankah yang demikian itu mendatangkan dosa? Demikian sebaliknya bila ia melampiaskan nafsunya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala”. (Riwayat Muslim).
  4. Meletakkan tangan di atas kening istri seraya berdoa, “Allahumma Innii Asaluka Min Khoiriha wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih”, Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan dari apa yang Engkau berikan kepadanya serta Aku berlindung kepada-Mu dari pada keburukannya dan keburukan yang Engkau berikan kepadanya”.
  5. Berdoa agar terhindar dari syaitan. Tibalah saat yang dinanti itu, ketika madu berkasih, ombak jiwa berdebar, angin bertiup melewati daun jendela, perahu pelaminan terguncang dan kasih tertunaikan. Rasulullah SAW ingatkan umatnya untuk sekali lagi berdoa. “Sekiranya ada di antara kalian yang hendak menggauli istrinya, hendaklah ia berdoa, (artinya), Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah syaitan, dan jauhkan syaitan dari apa yang Engkau rezekikan pada kami. Sebab sekiranya dari hubungan itu diberikan anak, niscaya tidak akan dicelakakan syaitan selama-lamanya.”

—*** —

Itu tadi kutipan khutbah nikah yang aku transkripkan dari ceramah ustadz Faishol.
Pembaca, sampai di sini sudah tahu kan siapa akhirnya suamiku? Belum juga? Tunggu deh bukunya, “LELAKI TAMPAN DI SUDUT MASJID NABAWI; A Memoir of Love” :)
Penulis : Inayatullah Hasyim via dakwatuna.com

SILAHKAN DI SHARE ARTIKEL INI


Comments
0 Comments

No comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.